27 Februari 2009

UU ITE datang membuat situs porno bergoyang

cybercrime.gifUU ITE datang membuat situs porno bergoyang dan sebagian bahkan menghilang? Banyak situs porno alias situs lendir ketakutan dengan denda 1 miliar rupiah karena melanggar pasal 27 ayat 1 tentang muatan yang melanggar kesusilaan. Padahal sebenarnya UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) tidak hanya membahas situs porno atau masalah asusila. Total ada 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya. Apakah UU ITE sudah lengkap dan jelas? Ternyata ada beberapa masalah yang terlewat dan juga ada yang belum tersebut secara lugas didalamnya. Ini adalah materi yang saya angkat di Seminar dan Sosialisasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diadakan oleh BEM Fasilkom Universitas Indonesia tanggal 24 April 2008. Saya berbicara dari sisi praktisi dan akademisi, sedangkan di sisi lain ada pak Edmon Makarim yang berbicara dari sudut pandang hukum. Tertarik? Klik lanjutan tulisan ini. Oh ya, jangan lupa materi lengkap plus UU ITE dalam bentuk PDF bisa didownload di akhir tulisan ini.CYBERCRIME DAN CYBERLAW
UU ITE dipersepsikan sebagai cyberlaw di Indonesia, yang diharapkan bisa mengatur segala urusan dunia Internet (siber), termasuk didalamnya memberi punishment terhadap pelaku cybercrime. Nah kalau memang benar cyberlaw, perlu kita diskusikan apakah kupasan cybercrime sudah semua terlingkupi? Di berbagai literatur, cybercrime dideteksi dari dua sudut pandang:
Kejahatan yang Menggunakan Teknologi Informasi Sebagai Fasilitas: Pembajakan, Pornografi, Pemalsuan/Pencurian Kartu Kredit, Penipuan Lewat Email (Fraud), Email Spam, Perjudian Online, Pencurian Account Internet, Terorisme, Isu Sara, Situs Yang Menyesatkan, dsb.
Kejahatan yang Menjadikan Sistem Teknologi Informasi Sebagai Sasaran: Pencurian Data Pribadi, Pembuatan/Penyebaran Virus Komputer, Pembobolan/Pembajakan Situs, Cyberwar, Denial of Service (DOS), Kejahatan Berhubungan Dengan Nama Domain, dsb.
Cybercrime menjadi isu yang menarik dan kadang menyulitkan karena:
Kegiatan dunia cyber tidak dibatasi oleh teritorial negara
Kegiatan dunia cyber relatif tidak berwujud
Sulitnya pembuktian karena data elektronik relatif mudah untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirimkan ke seluruh belahan dunia dalam hitungan detik
Pelanggaran hak cipta dimungkinkan secara teknologi
Sudah tidak memungkinkan lagi menggunakan hukum konvensional. Analogi masalahnya adalah mirip dengan kekagetan hukum konvensional dan aparat ketika awal mula terjadi pencurian listrik. Barang bukti yang dicuripun tidak memungkinkan dibawah ke ruang sidang. Demikian dengan apabila ada kejahatan dunia maya, pencurian bandwidth, dsb
Contoh gampangnya rumitnya cybercrime dan cyberlaw:
Seorang warga negara Indonesia yang berada di Australia melakukan cracking sebuah server web yang berada di Amerika, yang ternyata pemilik server adalah orang China dan tinggal di China. Hukum mana yang dipakai untuk mengadili si pelaku?
Seorang mahasiswa Indonesia di Jepang, mengembangkan aplikasi tukar menukar file dan data elektronik secara online. Seseorang tanpa identitas meletakkan software bajakan dan video porno di server dimana aplikasi di install. Siapa yang bersalah? Dan siapa yang harus diadili?
Seorang mahasiswa Indonesia di Jepang, meng-crack account dan password seluruh professor di sebuah fakultas. Menyimpannya dalam sebuah direktori publik, mengganti kepemilikan direktori dan file menjadi milik orang lain. Darimana polisi harus bergerak?
INDONESIA DAN CYBERCRIME
Paling tidak masalah cybercrime di Indonesia yang sempat saya catat adalah sebagai berikut:
Indonesia meskipun dengan penetrasi Internet yang rendah (8%), memiliki prestasi menakjubkan dalam cyberfraud terutama pencurian kartu kredit (carding). Menduduki urutan 2 setelah Ukraina (ClearCommerce)
Indonesia menduduki peringkat 4 masalah pembajakan software setelah China, Vietnam, dan Ukraina (International Data Corp)
Beberapa cracker Indonesia tertangkap di luar negeri, singapore, jepang, amerika, dsb
Beberapa kelompok cracker Indonesia ter-record cukup aktif di situs zone-h.org dalam kegiatan pembobolan (deface) situs
Kejahatan dunia cyber hingga pertengahan 2006 mencapai 27.804 kasus (APJII)
Sejak tahun 2003 hingga kini, angka kerugian akibat kejahatan kartu kredit mencapai Rp 30 milyar per tahun (AKKI)
Layanan e-commerce di luar negeri banyak yang memblok IP dan credit card Indonesia. Meskipun alhamdulillah, sejak era tahun 2007 akhir, mulai banyak layanan termasuk payment gateway semacam PayPal yang sudah mengizinkan pendaftaran dari Indonesia dan dengan credit card Indonesia
Indonesia menjadi tampak tertinggal dan sedikit terkucilkan di dunia internasional, karena negara lain misalnya Malaysia, Singapore dan Amerika sudah sejak 10 tahun yang lalu mengembangkan dan menyempurnakan Cyberlaw yang mereka miliki. Malaysia punya Computer Crime Act (Akta Kejahatan Komputer) 1997, Communication and Multimedia Act (Akta Komunikasi dan Multimedia) 1998, dan Digital Signature Act (Akta Tandatangan Digital) 1997. Singapore juga sudah punya The Electronic Act (Akta Elektronik) 1998, Electronic Communication Privacy Act (Akta Privasi Komunikasi Elektronik) 1996. Amerika intens untuk memerangi child pornography dengan: US Child Online Protection Act (COPA), US Child Pornography Protection Act, US Child Internet Protection Act (CIPA), US New Laws and Rulemaking.
Jadi kesimpulannya, cyberlaw adalah kebutuhan kita bersama. Cyberlaw akan menyelamatkan kepentingan nasional, pebisnis Internet, para akademisi dan masyarakat secara umum, sehingga harus kita dukung. Nah masalahnya adalah apakah UU ITE ini sudah mewakili alias layak untuk disebut sebagai sebuah cyberlaw? Kita analisa dulu sebenarnya apa isi UU ITE itu.
MUATAN UU ITE
Secara umum, bisa kita simpulkan bahwa UU ITE boleh disebut sebuah cyberlaw karena muatan dan cakupannya luas membahas pengaturan di dunia maya, meskipun di beberapa sisi ada yang belum terlalu lugas dan juga ada yang sedikit terlewat. Muatan UU ITE kalau saya rangkumkan adalah sebagai berikut:
Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas)
Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP
UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia
Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual
Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
Pasal 33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?))
Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik(phising?))
PASAL KRUSIAL
Pasal yang boleh disebut krusial dan sering dikritik adalah Pasal 27-29, wa bil khusus Pasal 27 pasal 3 tentang muatan pencemaran nama baik. Terlihat jelas bahwa Pasal tentang penghinaan, pencemaran, berita kebencian, permusuhan, ancaman dan menakut-nakuti ini cukup mendominasi di daftar perbuatan yang dilarang menurut UU ITE. Bahkan sampai melewatkan masalah spamming, yang sebenarnya termasuk masalah vital dan sangat mengganggu di transaksi elektronik. Pasal 27 ayat 3 ini yang juga dipermasalahkan juga oleh Dewan Pers bahkan mengajukan judicial review ke mahkamah konstitusi. Perlu dicatat bahwa sebagian pasal karet (pencemaran, penyebaran kebencian, penghinaan, dsb) di KUHP sudah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi.
Para Blogger patut khawatir karena selama ini dunia blogging mengedepankan asas keterbukaan informasi dan kebebasan diskusi. Kita semua tentu tidak berharap bahwa seorang blogger harus didenda 1 miliar rupiah karena mempublish posting berupa komplain terhadap suatu perusahaan yang memberikan layanan buruk, atau posting yang meluruskan pernyataan seorang “pakar” yang salah konsep atau kurang valid dalam pengambilan data. Kekhawatiran ini semakin bertambah karena pernyataan dari seorang staff ahli depkominfo bahwa UU ITE ditujukan untuk blogger dan bukan untuk pers Pernyataan ini bahkan keluar setelah pak Nuh menyatakan bahwa blogger is a part of depkominfo family. Padahal sudah jelas bahwa UU ITE ditujukan untuk setiap orang.
YANG TERLEWAT DAN PERLU PERSIAPAN DARI UU ITE
Beberapa yang masih terlewat, kurang lugas dan perlu didetailkan dengan peraturan dalam tingkat lebih rendah dari UU ITE (Peraturan Menteri, dsb) adalah masalah:
Spamming, baik untuk email spamming maupun masalah penjualan data pribadi oleh perbankan, asuransi, dsb
Virus dan worm komputer (masih implisit di Pasal 33), terutama untuk pengembangan dan penyebarannya
Kemudian juga tentang kesiapan aparat dalam implementasi UU ITE. Amerika, China dan Singapore melengkapi implementasi cyberlaw dengan kesiapan aparat. Child Pornography di Amerika bahkan diberantas dengan memberi jebakan ke para pedofili dan pengembang situs porno anak-anak
Terakhir ada yang cukup mengganggu, yaitu pada bagian penjelasan UU ITE kok persis plek alias copy paste dari bab I buku karya Prof. Dr. Ahmad Ramli, SH, MH berjudul Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia. Kalaupun pak Ahmad Ramli ikut menjadi staf ahli penyusun UU ITE tersebut, seharusnya janganlah terus langsung copy paste buku bab 1 untuk bagian Penjelasan UU ITE, karena nanti yang tanda tangan adalah Presiden Republik Indonesia. Mudah-mudahan yang terakhir ini bisa direvisi dengan cepat. Mahasiswa saja dilarang copas apalagi dosen hehehehe
KESIMPULAN
UU ITE adalah cyberlaw-nya Indonesia, kedudukannya sangat penting untuk mendukung lancarnya kegiatan para pebisnis Internet, melindungi akademisi, masyarakat dan mengangkat citra Indonesia di level internasional. Cakupan UU ITE luas (bahkan terlalu luas?), mungkin perlu peraturan di bawah UU ITE yang mengatur hal-hal lebih mendetail (peraturan mentri, dsb). UU ITE masih perlu perbaikan, ditingkatkan kelugasannya sehingga tidak ada pasal karet yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan yang tidak produktif
Download materi lengkap: romi-uuite-fasilkomui-24april2008.zipDownload UU ITE: uu-ite.zip
UPDATE (25 April 2008): UU ITE telah mendapatkan nomor dan ditandatangani oleh Presiden SBY pada tanggal 21 April 2008. UU ITE menjadi UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Lembaran Negara No 58 dan Tambahan Lembaran Negara No 4843

full IT

Siapa bilang indonesia ga FULL IT-nya….?Buktinya….?
1. IT ( Indonesia Terkorup ke…? didunia).
2. IT (Indonesia Terjangkit flu furung terbesar didunia)
3. IT (Indonesia Terbiasa ngomong Doang!).
4. IT ( Indonesia Terkaya tapi termiskin).
5. IT(Indonesia Terkena Musibah), dari bencana alam, kecelakaan udara, air, darat, Penyakit
dan banyak lagi lainnya.
Pokoknya Full DeCh

Kemerdekaan Teknologi

Kemerdekaan Teknologi

merahputih.gif17 Agustus bagi anak bangsa memiliki arti yang sangat penting, suatu tanggal bersejarah dimana republik ini menyatakan kemerdekaan. Pernyataan merdeka mengandung makna bahwa telah bebas, bebas bukan hanya dari satu penjajah, tapi juga seluruh penjajah yang telah, sedang dan akan menjajah republik kita. Bebas memilih partner dan teman, bebas dalam bekerjasama dengan bangsa apapun di dunia ini. Meskipun secara formal republik sudah merdeka, secara informal republik ini belum bebas. Belum bebas memilih partner dan bekerjasama dengan bangsa lain. Masih banyak tekanan dan paksaan dari bangsa yang lebih kuat dari segi ekonomi, politik maupun militer yang membuat kita sulit bergerak. Ini yang sering disebut oleh para pengamat politik sebagai kita belum merdeka
Kemerdekaan dalam sudut pandang teknologi memiliki konsep yang sama dengan kemerdekaan berbangsa, meskipun sedikit berbeda dalam penerapan. Kemerdekaan bagi seorang teknolog, engineer atau profesional adalah kebebasan dalam menggunakan teknologi, metodologi dan approach apapun dalam menyelesaikan masalah. Teknologi, metodologi dan approach bukanlah agama yang perlu difanatikkan, dia bukanlah sesuatu yang kekal hidup di dunia ini. Mereka itu adalah ciptaan manusia yang bisa dihapuskan, bisa diganti, dan bisa diperbaiki ketika mungkin sudah tidak efektif dan efisien dalam penyelesaian masalah.
Ketika 15 tahun lalu pertama kali menggunakan PC dengan sistem operasi MS DOS dengan dosshellnya yang canggih, saya berpikir bahwa dengan menguasainya saya bisa memecahkan banyak masalah (menulis, berhitung, bermain game, dsb). Tapi tiga tahun kemudian Windows 3.1 datang dan ini memungkinkan pemecahan masalah dengan lebih baik lagi. Demikian juga tahun 1995 muncul satu sistem operasi buatan Microsoft yang lebih baik lagi yaitu Windows 95. Dan saya berpikir bahwa cukup dengan itu saya bisa melakukan banyak hal, mengerjakan laporan, berhitung, manipulasi image, dsb. Tapi lagi-lagi meleset. Masuk kampus di Saitama University, semua berbasis Unix (Sun Microsystem). Saya harus mengerjakan semua tugas dengan text editor bernama Emacs, menulis laporan dengan LaTeX, mengolah data dengan Gnuplot, menulis code dengan C, bermain-main web programming dengan perl dan CGInya. Di rumah karena tidak mungkin saya membeli Sun Sparc, saya menggunakan Linux untuk melanjutkan tugas-tugas kuliah. Saya mencoba berbagai distribusi Linux dari Slackware (era itu termasuk yang populer), Redhat, Turbolinux, Debian, Vinelinux, dsb.
Dengan menguasai MS Windows, Unix, dan Linux, saya pikir sudah cukup matang dan luas skill saya. Sejak tingkat 2 program undergraduate di Saitama University (1996), saya mencoba parttime (arubaito) di berbagai perusahaan IT Jepang. Saya cukup terkejut karena saya harus mengelola mesin lain di luar itu. Berbagai perusahaan menginginkan supaya saya juga bisa mengelola mesin berplatform Macintosh (MAC) dan BSD Unix. Macintosh yang pertama membingungkan saya, akhirnya menjadi sahabat saya karena saya putuskan memakai di rumah disamping Linux dengan distro Slackwarenya. BSD Unix saya gunakan kemudian untuk berbagai server di kampus. Meskipun ini baru sampai ke sistem operasi, maintenance dan pengelolaan server, saya sudah mulai bisa menarik kesimpulan bahwa teknologi berkembang dengan varian yang beraneka ragam. Mereka masing-masing sangat unik dan saling melengkapi dalam proses pemecahan masalah. Sekali lagi, secara teknologi tidak ada yang bisa mengatakan bahwa suatu platform adalah terbaik dalam segala hal. Yang ada adalah terbaik dalam suatu sisi. Macintosh dengan kestabilan desktopnya, Linux dalam keterbukaan source dan kestabilan server, MS Windows dalam kemudahan pemakaian, BSD dalam sekuriti, dsb. Kelebihan dalam suatu sisi itu yang melengkapi penyelesaian masalah secara global masyarakat di dunia.
Apakah cuman masalah sistem operasi? Ternyata tidak! Dalam bahasa pemrograman juga seperti itu. Ketika saya menganggap bahwa bahasa C dan Perl cukup, karena hampir semua laporan dan project di kampus menggunakan bahasa C serta sebagian Perl. Saya dikejutkan karena kebutuhan perusahaan tempat saya bekerja part time adalah bahasa Java untuk beberapa project. Untung saya sudah membiasakan diri di semester ke 4 (awal 1997) di mata kuliah Computer Graphics. Dan ini otodidak, karena pemrograman berorientasi objek baru diajarkan di tingkat 3. Saya juga mulai mengganti kebiasaan Perl dengan PHP, khusus untuk web programming karena kebutuhan lebih banyak di situ.
Demikian juga dengan hobi saya menggunakan notasi OMT (Object Modeling Technique) milik James Rumbaugh dalam desain object-oriented, harus berubah karena muncul UML (Unified Modeling Language) yang akhirnya diusulkan menjadi standard oleh James Rumbauh, Grady Booch dan Ivar Jacobson di OMG (Object Management Group)
Dunia penelitian juga tak lepas dari itu, kita harus lebih banyak membaca jurnal-jurnal ilmiah terbaru untuk mengupdate informasi dan pengetahuan kita tentang berbagai approach, teknologi, metodologi, formula baru yang telah ditemukan oleh berbagai peneliti lain di dunia. Kadang dengan pemikiran baru itu kita bergerak dan harus meninggalkan berbagai tema penelitian yang sudah tidak terlalu dibutuhkan oleh masyarakat.
Mari kita renungkan bersama, suatu hal yang lucu kalau kita terbelenggu oleh teknologi. Kalaupun kita sangat suka komputer tabung, tentu kita tidak bisa lagi menggunakannya di era saat ini. Kalapun kita fanatik terhadap pascal dan quickbasic, kita sudah mulai kesulitan mencari kompilernya saat ini. Kalaupun kita sangat lihai bermain MS DOS, ngoprek dosshell, tentu harus ditinggalkan dengan sistem windowing (X window, Mac window, window ala MS Windows, dsb)
Sekali lagi teknologi, approach, metodologi dalam bentuk sistem operasi, bahasa pemrograman, software, dsb hanyalah tool yang harus dikuasai dan digunakan bagi para teknolog dan profesional untuk memecahkan masalah. Dia bersifat tidak kekal, dia bukanlah agama yang harus dianut dan difanatikkan seumur hidup. Ketergantungan terhadap sebuah tool adalah kebodohan. Debat kusir tentang tool dan saling mengumpat atau membela mati-matian sebuah tool adalah tindakan sia-sia.
Kemerdekaan bagi seorang teknolog adalah kebebasan dan kemampuan dalam memilih, memilah dan menggunakan berbagai teknologi, tool dan approach dalam memecahkan masalah. Ketika kita terbelenggu dan terpaksa dalam menggunakan suatu teknologi, maka itu menandakan bahwa kita belum merdeka, dan perlu perdjoeangan untuk memerdekakan diri
Tentu kemerdekaan teknologi yang lebih tinggi tingkatnya adalah apabila kita bukan lagi sebagai pengguna, tapi juga sebagai pencipta dari teknologi. Sehingga kita tidak perlu lagi menggunakan teknologi enkripsi khususnya untuk kunci publik yang diciptakan Martin Hellman dan Adi Shamir, maupun algoritma kompresi data (misal dalam format ZIP) yang merupakan karya Abraham Lempel dan Jacob Ziv. Perlu diketahui bahwa empat orang yang saya sebut baru saja adalah orang Israel
17 Agustus 2006, menyambut kemerdekaan RI yang ke-61, jadikanlah tanggal ini suatu timing yang tepat untuk mulai memikirkan kemerdekaan teknologi, meskipun kita mulai dari hal-hal kecil.
Merdeka !!
http://romisatriawahono.net/2006/08/15/kemerdekaan-teknologi/

22 Februari 2009

GAMBARAN 2009 DI NEGERI PENINDAS

Bagi sebagian orang 2009 ini tahun penentuan, terutama bagi yang menjadi caleg, dus dengan diterapkannya suara terbanyak maka akan semakin bergejolak gairah berlomba untuk menuju kursi empuk di parlemen. Begitupun yang bercita-cita menjadi Raja Besar Negeri Nusantara ini, tahun 2009 ajang kompetisi yang menegangkan. Bagaimana dengan nasib kelas proletar pada tahun 2009 ini? Menurut ramalanku (bergaya dikit seperti Mama Lauren), tahun 2009 ini tak ada perubahan baru yang progressif untuk kaum jelata ini. Tahun boleh baru, tapi bencana terhadap kaum buruh kelas pekerja tampaknya tak berubah. Yang baru nanti di tahun 2009 adalah bencana PHK besar-besaran yang bakal menimpa kelas proletar ini. Dan ini bukan ancaman kosong, berbagai organisasi pengusaha dan pengamat sudah mengeluarkan ungkapan serupa, argumentasinya yaaa…karena krisis resesi ekonomi global yang belum menunjukkan pertanda membaik, sehingga hasil produksi tak mampu diserap pasar, sementara costnya semakin tinggi, sehingga tiada jalan lain yang efektif untuk memangkas cost produksi selain merumahkan kaum pekerja. Bagaimana nasib kaum tani, panen gagal, pupuk mahal, lahan semakin terbatas karena penggusuran, kebijakan pembelian harga gabah petani untuk menstabilkan harga mungkin tak akan terjadi karena mungkin impor beras akan tetap dilakukan. Kebijakan reformasi agrarian tetap hanya ada di dalam mimpi, petani boleh saja bekerja keras, tapi miskin adalah pasti. Begitu juga dengan kaum nelayan, pastinya mereka akan semakin terpuruk dalam kemiskinan, terjerat hutang sama tauke-tauke pengumpul ikan, meski negeri ini negeri bahari, ikan dan kekayaan lautnya berlimpah dan tak perlu modal besar untuk menuai hasilnya, tapi tetap saja kaum nelayan sengsara dalam kemiskinannya. Semua ini akan semakin parah, nasib kaum buruh hanya akan bertahan mungkin sampai pada pemilu, pasca pemilu boleh jadi gelombang PHK akan terjadi. Nasib tani dan nelayan pastinya tak akan berubah, karena secara jangka panjang memang tak ada kebijakan yang betul-betul pro pada pemberdayaan kelas jelata ini. Apalagi jelang pemilu 2009 ini, maka para elit penguasa itu pastinya akan sibuk dengan urusan mereka sendiri, urusan berebut dan mempertahankan kekuasaan, berebut jatah dan posisi di jabatan-jabatan dan kursi-kursi kekuasaan. Rakyat jelata tetap terperhatikan, tapi yaaa terperhatikan sebagai tumbal demokrasi prosedural, digiring untuk menuju hiruk pikuk pesta lima tahunan, untuk diklaim sebagai legitimasi kekuasaan, sehingga legal bagi para elit penguasa untuk menindas lima tahun ke depan. Nasib yaa nasib, mengapa jadi begini?! Punya negara tapi tak memakmurkan, punya pemimpin tapi penindas, punya tanah tapi digusur, punya laut tapi terlalu banyak Lanun, punya negeri tapi seperti kuli! Rakyat negeri ini bukannya pemalas dan jangan pernah mengatakan mereka bermental malas, karena negaralah yang justru menindas dan melanggengkan kemiskinan mereka dengan kebijakan yang memiskinkan-menindas. Memang Negara Bermental Penindas! Bangunlah Kaum Yang Lapar, Bangunlah Kaum Tertindas, Cukup sudah Negara!

Utang, Nasionalisme Kesiangan dan Kemerdekaan Sejati?

Munculnya krisis dalam hubungan antara Indonesia dan Australia ditanggapi berbeda oleh berbagai kalangan. Namun yang langsung menarik perhatian saya adalah tulisan Bapak Ikrar Nusa Bakti “Nasionalisme Kesiangan” disalah satu harian nasional (Kompas, 31 Maret 2006). Dalam tulisannya, beliau mengatakan bahwa bangsa Indonesia haruslah bercermin diri dan bahwa nasionalisme bukanlah jago-jagoan menunjukkan siapa yang dapat bersuara lantang kepada negara asing, bukan pula jagoan demonstrasi di depan kedutaan-kedutaan AS, Malaysia, Swedia atau Australia. Tetapi, sudahkah kita merasa senasib sepenanggungan dengan saudara-saudara kita di Papua? Nasionalisme kita seharusnya menunjukkan perhatian kepada nasib seluruh anak bangsa di negeri ini.

Saya sangat mendukung hal yang disebut belakangan namun hal tersebut menurut awam saya sangat berhubungan dengan hal yang pertama yaitu “bersuara lantang kepada asing”. Harus kita ingat bahwa jika secara internal satu negara cukup kuat maka negara tersebut tidak akan gampang diguncang oleh kekuatan dari luar. Pertanyaan, mengapa kita tidak bisa bersuara lantang kepada asing? Ini sebenarnya ditujukan kepada pemerintah.

Beberapa elemen masyarakat yang terorganisir maupun secara individu berkali-kali menyuarakan secara lantang penentangan terhadap kekuatan asing yang ingin mengekploitasi semua sumber daya dalam negeri namun mendapatkan tanggapan yang tidak sepantasnya dari pemerintah. Suara-suara lantang ini juga masih menjadi kekuatan minoritas dalam lembaga legislatif. Penyuaraan “suara lantang” ini harus secara terus menerus digalang oleh semua elemen masyarakat meskipun itu harus dilakukan di jalan-jalan ataupun di depan kedutaan besar negara “sahabat”. Cara bepikirnya seharusnya adalah dengan adanya penyuaraan penentangan dari masyarakat saja pemerintah masih “mau berbuat salah”, apalagi jika tidak ada sama sekali. Untuk hal ini, saya sangat setuju dengan Alm. Cak Nur dalam pidatonya “Kebebasan Demi Peradaban” (2003), beliau mengatakan “masyarakat demokratis cenderung ribut, tapi keributan dinilai pasti lebih baik daripada ketenangan karena kemandekan.”

Dalam krisis hubungan dengan Australia, kita harus sepakat dan memberikan dukungan penuh kepada pemerintah karena telah bersuara lantang kepada pemerintah Australia. Namun sayangnya dalam beberapa hal, yang justru lebih penting, ketika suara lantang pemerintah sangat diharapkan malah tidak terdengar sama sekali. Yang ada justru pembelaan kepentingan asing. Ambillah Blok Cepu yang sekarang telah dikuasai oleh Exxonmobil.

Pemerintah memberikan pernyataan bahwa keputusan di Blok Cepu adalah B to B atau business to business agreement. Disini terlihat ketidak-konsistenan pemerintah. Jika keputusan tersebut adalah B to B, yaitu antara Pertamina dan pihak Exxonmobil, maka seharusnya Pertamina tidak mendapatkan intervensi yang lebih jauh dari pemerintah. Namun kenyataannya adalah direktur Pertamina sebelumnya yang tidak setuju terhadap penyerahan operasional Blok Cepu ketangan Exxonmobil, justru diganti oleh pemerintah dengan direktur baru beberapa saat sebelum terealisasinya kesepakatan yang ada sekarang.

Kembali lagi, beberapa kalangan melihat krisis hubungan bilateral Indonesia-Australia sekarang ini dari kacamata dependency (baca=keterjajahan) negara kita kepada beberapa aktor utama dalam panggung internasional. Saya mengaitkan antara dependensi dengan keterjajahan karena kondisi aktual Indonesia sekarang menurut saya masih berada dalam keterjajahan dan jauh dari kemerdekaan sejati seperti yang diinginkan oleh founding fathers kita. Ini sangat bisa menjelaskan prilaku pemerintah dalam mengambil kebijakan dalam negeri mengingat bagaimana keterkaitan langsung kondisi domestik dengan apa yang terjadi diluar negeri dibuktikan dengan beberapa kebijakan yang diambil pemerintah dengan mempertimbangkan faktor eksternal, misalnya kebijakan pencabutan subsidi BBM karena kenaikan harga minyak dunia. Untuk itu masih sangat relevan bagi kita untuk kembali mempertanyakan “apakah kita sudah merdeka atau belum? Atau mungkin, pernahkah kita merdeka?”

Kemerdekaan Sejati

Pada dasarnya pemahaman kita terhadap negara tercinta ini sangat tergantung pada proses sosialisasi sejarah dari generasi ke generasi. Tidak bisa kita pungkiri bahwa kebanyakan dari kita berpikir bahwa kita telah merdeka dibuktikan dengan berhasilnya presiden Soekarno dan wakilnya Hatta memproklamirkan kemerdekaan negara Indonesia dari penjajahan Belanda. Kita taken for granted bahwa kemerdekaan telah kita capai dan tidak akan pernah lagi terambil oleh siapapun juga serta perjuangan atas nama kemerdekaan sudah tidak ada lagi. Proklamasi kemerdekaan hanya akan terjadi satu kali dan tidak akan pernah terulang lagi, karena itu kita sejatinya kita telah merdeka.

Argumentasi diatas tidak bisa kita terima begitu saja. Pertama, argumentasi diatas sebenarnya masih bisa dikejar lagi dengan pertanyaan apakah memproklamirkan kemerdekaan adalah esensi dari kemerdekaan itu sendiri? Jawabannya, belum tentu. Memproklamirkan adalah satu hal. Yaitu formal dan politis yang berbeda dengan substansi kemerdekaan itu sendiri. “Saya adalah kepala sekolah”, disini saya memproklamirkan diri, tapi apakah betul saya sejatinya adalah seorang kepala sekolah? Anda akan ragu untuk menjawab “ya.” Kedua, saya melihat bahwa merdeka adalah suatu proses untuk ‘menjadi’. Proses yang akan berlangsung secara terus menerus. Sekarang ini pun kita masih dalam proses tersebut.

Kasus Blok Cepu dan Freeport di Indonesia memiliki beberapa kesamaan dengan pola penjajahan yang dilakukan oleh Belanda dulu. Pertama, Penjajahan Belanda, dan beberapa negara Eropa lain di negara-negara Asia dan Afrika, adalah upaya negara tersebut untuk menguasai sumberdaya alam (resources) yang ada di Indonesia. Kedua, keinginan untuk mendapatkan pekerja atau buruh yang murah sebagai syarat mendapatkan produk yang bersaing dari segi harga. Ketiga, adalah setelah mengeksploitasi kemudian menjadikan negara terjajah tersebut sebagai pasar. Jaman penjajahan Belanda dulu semua ini dimotori oleh satu Multi National Corporation (MNC) yang dikenal dengan VOC. Untuk konteks sekarang ini dilihat dari tiga hal disebutkan diatas, VOC telah berganti nama dengan Freeport dan Exxonmobil. Kemerdekaan sejati memang belum terwujud. Bahkan beberapa akademisi mempertanyakan kemerdekaan Indonesia dimasa-masa awal “kemerdekaan.”

Kita tahu bahwa proklamasi kemerdekaan dilakukan pada 17 Agustus 1945, tetapi Belanda pada waktu itu tidak menerima begitu saja yang kemudian terjadi Agresi I dan Agresi II. Indonesia baru mendapatkan pengakuan kedaulatan pada tahun 1949. Salah satu butir kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah “utang yang dibuat oleh pemerintah Belanda selama penjajahan, sebanyak 4 Miliar, diwariskan kepada pemerintah Indonesia”. Disini kita bisa mempertanyakan kemerdekaan kita karena kita sudah terikat utang dari dulu.
Pada tahun 1947 sebenarnya Pemerintah RI pada waktu telah mengajukan Blue Book yang berisi permintaan utang kepada negara maju. Pada tahun 1950 Indonesia diintervensi oleh Amerika Serikat (AS). Indonesia meminta utang sebesar 150 USD, namun uang ini bisa dicairkan dengan syarat pemerintah Indonesia harus mengakui pemerintahan di Vietnam Selatan, yang pada waktu perang Vietnam didukung oleh AS. Karena keinginan agar utang tersebut segera dicairkan maka Indonesia memenuhi syarat AS tersebut. Hal yang sama terulang lagi 2 tahun kemudian, 1952. AS lagi-lagi meminta Indonesia untuk mengembargo Cina dengan tidak mengekspor tekstil ke Cina dan juga mengakui pemerintah Korea Selatan yang didukung oleh AS pada perang Korea dan keputusan Indonesia yang berharap utang dicairkan sudah dapat kita tebak kemana pada saat itu (Baswir, 2006)

Utang dan Kolonialisme

Dari sedikit penggalan sejarah diatas dapat kita kenali bahwa utang adalah salah satu strategi bagi negara maju untuk melakukan kolonialisme model baru atau neo-kolonialisme. Disebut neo karena terdapat perbedaan gaya atau model dari penjajahan dulu. Jika dulu kita terjajah dengan keterlibatan militer secara aktif maka neo-kolonialisme adalah model penjajahan minus militer (Amien Rais, 2006).

Sejarah tentang utang yang paling dekat dengan kita sekarang ini adalah apa yang diceritakan oleh John Perkins dalam bukunya “the Confession of an Economic Hit Man” (2005). Perkins mengakui bahwa memang ada, bahkan sampai sekarang ini, orang-orang yang disebut sebagai economic hit man itu yang dikirim ke negara-negara berkembang untuk memberikan suatu rekomendasi kebijakan ekonomi yang didasarkan pada kalkulasi salah dan menyesatkan. Tujuannya adalah untuk menghancurkan perekonomian negara tersebut dan pada akhirnya tidak ada pilihan bagi negara tersebut untuk bangkit selain dengan berutang kepada negara maju.
Yang sangat menyita perhatian saya adalah bahwa Perkins juga pernah dikirim ke Indonesia dan beroperasi di Pulau Jawa. Entah berhubungan atau tidak, yang jelas Indonesia sekarang ini telah terjerat dengan utang.

Ketergantungan kita terhadap utang sangat jelas terlihat dalam APBN. Dalam RAPBN 2005 saja, jumlah utang mengambil porsi terbesar yaitu 25% jika dibandingkan dengan besaran jumlah belanja lain seperti belanja sosial 4%, subsidi 8%, belanja modal dan pegawai masing-masing 10% dan 14% (Nota Keuangan Diolah). Kondisi yang parah ini berujung pada ketergantungan akut kita terhadap utang dimana jumlah utang yang akan kita terima lebih kecil dibanding utang yang jatuh tempo atau harus segera dibayar. Kondisi ini tidak bisa tidak harus segera diubah karena akan semakin menjerumuskan kondisi kesejahteraan rakyat mengingat bahwa anggaran subsidi antara lain untuk pendidikan dan kesehatan dipotong demi untuk membayar utang tersebut.

Posisi ketergantungan ekonomi inilah yang dijadikan oleh negara-negara maju untuk mengintervensi Indonesia dalam pengambilan kebijakan luar negeri dan disisi lain menurunkan bargaining power Indonesia berhadapan dengan kekuatan asing. Kebijakan pemerintah Australia, yang dalam politik internasional cukup kuat dikarenakan oleh beberapa kedekatan dengan Inggris dan AS, dengan memberikan suaka disandarkan pada argumentasi-argumentasi yang sebenarnya tidak terlalu kuat (Hikmahanto, 2006). Hal ini hanya memperjelas bahwa Indonesia dimata Australia tidak lebih dari sekedar barang mainan yang dapat diperlakukan seenaknya saja, negara yang kata orang merdeka.

Agar Tidak Kesiangan?

Permasalahan sekarang ini sebenarnya telah diramalkan akan terjadi oleh founding fathers kita. Hatta telah mengingatkan kita akan bahaya superpower greeds dan harus terus waspada terhadapnya. Untuk itu tidak ada salahnya jika kita mencoba melihat kembali pemikiran-pemikiran yang telah ada dimasa awal “berdirinya” Indonesia. Seokarno telah memberikan rekomendasi strategi kepada kita agar bisa merdeka dan tidak lagi menjadi negara terjajah oleh kekuatan asing. Rekomendasi tersebut adalah pertama, agar kita berhenti menjadi suplier bahan mentah bagi negara-negara industri, kedua, berhenti menjadi pasar bagi negara industri dan ketiga, berhenti menjadi tempat memutar kapital asing.

Ketiga hal ini dapat kita jadikan sebagai salah satu alternatif pemikiran dasar bagi pemerintah dalam menetapkan suatu strategi dan kebijakan luar negeri dan harus mendapatkan dukungan dari masyarakat. Disini kritisisme masyarakat juga harus terus dijaga. Kita bisa meminjam tradisi pemikiran kritis masyarakat barat terhadap pemerintahnya dengan mengatakan bahwa “who is powerful, is a suspect” dan ini sah-sah saja bagi pemerintahnya. Sebagai salah satu prasyarat bagi akselerasi perubahan, gerakan sosial yang dilakukan oleh elemen masyarakat baik itu LSM maupun mahasiswa harus menjadikan masalah utang ini sebagai common issue.

Hal lainnya adalah, berubahnya mindset dari para kebanyakan politikus dengan menggeser kecenderungan politik demi kekuasaan semata kearah politik kesejahteraan masyarakat. Dengan begini, Dewan Perwakilan Rakyat tidak lagi menjadi “Dewan Perwakilan Pemerintah” dimana setiap keputusan politik DPR lebih banyak berposisi mendukung kebijakan pemerintah yang sebenarnya tidak aspiratif dan bahkan menentang keinginan rakyat. Pada akhirnya semua ini akan memudahkan para pembantu Presiden di luar negeri untuk memiliki kepercayaan diri dan posisi tawar yang cukup baik dalam melakukan diplomasi/negosiasi berhadapan dengan negara maju sekalipun. Semoga.

Muh. Ashry Sallatu
Mahasiswa Program Pasca Sarjana
Hubungan Internasional, Universitas Indonesia
(Jumat, 31 Maret 2006)
http://kakatuadua.blogspot.com/2006/10/utang-nasionalisme-kesiangan-dan.html

Sudahi Kontroversi Puyer, Membuat Masyarakat Bingung

Sudahi Kontroversi Puyer, Membuat Masyarakat Bingung

Dalam beberapa tahun belakangan ini kontroversi tentang pemberian obat sediaan bubuk yang sering disebut puyer kembali menghangat, apalagi RCTI dalam beberapa minggu belakangan ini meliput secara serial. Kelebihan dan kekurangan dalam pemberian obat bentuk sediaan puyer ternyata menjadi bahan komoditas kontroversi di antara klinisi, yang berakibat kebingungan dalam masyarakat penggunanya. Apalagi belakangan ini hal itu dimanfaatkan oleh media masa untuk membuka kontroversi ini dalam masyarakat.

Selain membuat bingung masyarakat kontroversi ini juga rawan dapat ditunggangi oleh beberapa pihak demi kepentingan kelompoknya. Seperti diketahui bahwa bisnis farmasi ternyata cukup terpukul dengan adanya bentuk sedian obat puyer ini. Dalam beberapa survey didapatkan penggunaan puyer jauh melampaui penggunaan sediaan sirup. Bahkan terdapat supervisor sebuah perusahaan farmasi hengkang dari pekerjaannya gara-gara omzet obat sirupnya hancur dikalahkan penggunaan obat puyer.

Dalam pengobatan modern Barat, pada awalnya puyer merupakan salah satu bentuk sediaan yang luas digunakan di seluruh dunia, terutama untuk penggunaan obat racikan/campuran. Puyer (powder) atau pulvis adalah salah satu bentuk sediaan obat yang biasanya didapat dengan menghaluskan atau menghancurkan sediaan obat tablet atau kaplet yang biasanya terdiri atas sedikitnya dua macam obat. Namun, dengan kemajuan teknologi sediaan obat yang diberikan berkembang dalam bentuk sediaan kapsul, sirup atau injeksi.

Terdapat berbagai kekurangan dan kelebihan dari berbagai bentuk sediaan obat tersebut. Bentuk sediaan obat puyer lebih sering digunakan oleh dokter anak karena selain lebih mudah memberikan takaran dosis, lebih praktis, lebih murah atau kadang tidak ada sediaan obat sirup pada jenis obat tertentu.. Sedangkan sediaan kapsul atau sirup jadi lebih mahal, kadang tidak praktis karena kesulitan mengatur dosis tetapi rasanya lebih enak. Di samping itu masih banyak terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan masing-masing sediaan obat tersebut.

Tapi faktanya, ilmu meracik puyer adalah pelajaran wajib bagi pendidikan mahasiswa kedokteran di tingkat awal. Bahkan banyak didapatkan kepustakaan dan buku pegangan untuk ilmu meracik puyer yang ditulis oleh ahli farmasi dan kedokteran. Dalam hal ini ilmu meracik puyer adalah hal legal dan menjadi tindakan medis yang wajar dilakukan dalam dunia kedokteran. Sampai saat ini belum ada penelitian yang membuktikan bahwa penggunaan puyer berdampak buruk.

Tampaknya kontroversi yang timbul dalam penggunaan puyer ternyata bila disimak dengan cermat tidak pada substansinya. Ternyata, kontroversi yang ditakutkan tersebut ternyata tidak hanya dialami oleh pengguna puyer tetapi juga pada pengguna obat sediaan lainnya. Opini yang ditakutkan tersebut bukan karena masalah puyernya sendiri tetapi kelemahan knowledge (pengetahuan) dokter atau skill (ketrampilan) apoteker dalam penyajiannya, bukan dari kelemahan sediaan puyer itu sendiri.

Terdapat beberapa hal yang kami rangkum dalam kontroversi tersebut yang disampaikan oleh para klinisi dalam suatu seminar dan opini di media tentang masalah kelemahan puyer yang ternyata tidak pada substansi masalah utama bahaya obat puyer itu sendiri.

•1. Menurunnya kestabilan obat karena obat-obatan yang dicampur tersebut punya kemungkinan berinteraksi satu sama lain. Sebenarnya bila dicermati interaksi obat tidak hanya pada pemberian puyer pemberian sediaan kapsul atau sirup mempunyai resiko interaksi obat satu dengan yang lain. Dokter dibekali limu farmasi tentang masalah interaksi dan kestabilan obat. Kalaupun ada interaksi obat mungkin, dokter sudah memperhitungkan hal tertsebut tidak terlalu berbahaya. Bila dokter tidak memahami farmakoterapi dari suatu jenis obat, sebaiknya dokter tidak menuliskan resep obat baik puyer maupun sirup.

•2. Pemberian puyer beresiko terjadi pemberian polifarmasi. Sebenarnya penggunaan polifarmasi bisa juga terjadi pada penggunaan obat kapsul dan sirup. Seorang dokter ada juga yang meresepkan berbagai macam botol sirup dalam satu kali pemberian. Bahkan seorang ibu sempat mengeluh ketakutan karena anaknya dalam sekali berobat diberikan sekaligus 6 botol sirup. Padahal dalam satu botol sirup itu juga kadang terdiri dari dua atau lebih kandungan obat. Pengalaman lain beberapa penderita yang berobat di luar negeri khususnya Singapura, penderita memang tidak mendapatkan puyer tetapi membawa segepok obat sirup dan kapsul kalo dijumlah lebih dari 7 macam. Masalah pemberian polifarmasi ini juga tergantung knowledge dan pengalaman dokter

•3. Sulitnya mendeteksi obat mana yang menimbulkan efek samping - karena berbagai obat digerus jadi satu dan terjadi reaksi efek


samping terhadap pasien, akan sulit untuk melacak obat mana yang menimbulkan reaksi. Hal ini juga tidak akan terjadi, karena dalam penulisan obat puyer pasien dapat meminta kopi resep dari apoteker atau apotik tempat pembelian obat. Di Puskesmas memang menjadi masalah karena seringkali tidak disertai kopi resep, tetapi bila pasien meminta hal itu pasti akan diberikan oleh dokter yang memberikan di psukesmas. Adalah sesuatu yang tidak etis bila dokter tidak mau memberikan kopi resepnya.

•4. Pembuatan puyer dengan cara digerus atau diblender, sehingga akan ada sisa obat yg menempel di alatnya. Hal itu wajar terjadi, dalam ilmu meracik obat itu sudah diperhitungkan dengan menambah sekian prosen untuk kemungkinan hal tersebut. Kalaupun ada kekurangan dan kelebihannya sebenarnya hanya dalam jumlah kecil yang tidak terlalu bermakna, kecuali pada obat tertentu. Dalam pemakaian obat sirup pun pasti wajar bila kelebihan atau kekurangan seperti terjadi sisa sedikit sewaktu memberikan obat dalam sendok sirupnya atau kelebihan sedikit dalam menuang obat dalam sendok. Bahkan seorang peneliti pernah melaporkan bahwa sekitar 20% obat paten ternyata sewaktu diteliti lebih cermat sering membulatkan jumlah dosis seperti yang tercantum dalam kemasannya atau tidak sesuai dengan kandungan yang ada, Seperti pesudoefedrin yang seharusnya dikapsul 17 mg dibulatkan menjadi 20 mg.

•5. Proses pembuatan obat itu harus steril. Memang dalam penyajian dan penyediaan obat harus higenis dan bersih, dan itu sudah merupakan prosedur tetap yang harus dilakukan oleh semua apoteker. Meskipun dalam penyediaan obat oral tidak harus super steril seperti penyediaan obat suntik. Obat oral mungkin relatif sama seperti penyajian makanan lain yang masuk ke mulut, beda dengan obat injeksi yang harus melalui pembuluh darah yangb harus sangat steril.

•6. Bisa jadi obatnya sudah rusak sebelum mencapai sasaran karena proses penggerusan. Masalah tersebut sebenarnya masalah knowledge (pengetahuan) dan ketrampilan dokter Hal itu juga tidak akan terjadi karena dokter sudah diberikan ilmu farmasi bahwa terdapat beberapa obat yang tidak boleh digerus. Kalaupun ada yang tidak boleh digerus tapi digerus, mungkin tidak membahayakan tetapi hanya membuat khasiat obat tidak optimal.

•7. Dosis yang berlebihan karena dokter tidak mungkin hafal setiap merek obat. Jadi akan ada kemungkinan dokter meresepkan 2 merek obat yang berbeda, namun kandungan aktifnya sama. Hal seperti ini juga sebenarnya masalah knowledge (pengetahuan) dan ketrampilan dokter. Setiap dokter tidak boleh menuliskan resep obat bila tidak hafal dosis dan merek obatnya. Kekhawatiran inipun juga terjadi pada penulisan resep sediaan sirup.

•8. Kesalahan dalam peracikan obat - bisa jadi tulisan dokter bisa jadi nggak kebaca sama apoteker, sehingga bisa membuat salah peracikan. Hal inipun juga terjadi pada sediaan sirup. Penulisan dokter tidak jelas memang sering terjadi, dalam hal ini apoteker harus menanyakan lagi kepada dokter

Bila dilihat berbagai opini yang diungkapkan oleh beberapa pihak tadi menjadikan kontroversi melebar kemana-mana tidak pada subtansinya bahwa obat puyer sebenarnya tidak berbahaya dan bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan. Kekhawatiran tersebut sebenarnya juga terjadi pada pemberian sediaan yang lain seperti sediaan sirup dan kapsul. Substansi kontroversi yang lain sebenarnya masalah skill dan knowledge dokter dalam penulisan resep dan skill apoteker dalam penyajiannya. Sebenarnya masalah ini bukan konsumsi publik, tetapi seharusnya menjadi topik bahasan di kalangan intern dokter.

Sebaiknya media sebagai penyebar informasi dan dokter sebagai narasumber dalam mengemukakan kontroversi ilmiah harus berdasarkan bukti dan fakta ilmiah ataupun paling tidak hasil rekomendasi dari institusi yang kredibel seperti WHO (World Health Organization), CDC (Centers for Disease Control), AAP American Academy of Pediatrics, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) atau IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia). Bila masalah itu masih belum ada rekomendasi resmi dari instansi berwenang yang kredibel sebaiknya dokter sebagai narasumber jangan terlalu gegabah menyampaikan atau terpancing untuk menyebarluaskan opininya sendiri atau kontroversi ke masyarakat. Sebaiknya dilakukan workshop atau diskusi ilmiah dikalangan berbagai disiplin ilmu untuk menyatukan pendapat. Bila perilaku itu diteruskan hal tersebut secara tidak disadari akan dapat ditunggangi oleh pihak yang tertentu untuk mengeruk keuntungan. Dokter juga mirip politisi, harus cermat dalam mengeluarkan informasi ke masyarakat. Sekali kontroversi itu keluar ke media masa akan menjadi milik opini publik yang dapat membingungkan masyarakat. Kemajuan informasi tehnologi, bak pisau bermata dua. Satu sisi menguntungkan, sisi lain bila salah mencerna informasi tersebut akan membuat persepsi masyarakatt diputarbalikkan.

Bila klinisi berdebat pada kontroversi yang tidak substansial sebaiknya media harus cermat dalam memilih atau menyajikan berita. Karena bila masyarakat salah dalam mencerna kontroversi itu maka banyak hal negatif yang bisa terjadi. Hal ini akan menurunkan kredibilitas dan kepercayaan media dan nara sumbernya, bahwa informasi yang tidak berdasarkan evidence base medicine atau kejadian ilmiah berbasis bukti menjadikan sekedar kontroversi yang tidak berujung. Berbeda dengan tradisi dalam bidang ilmu kedokteran dahulu. Dalam ilmiah kedokteran modern, pendapat seorang pakar atau professor sekalipun sekarang tidak boleh dijadikan acuan atau pedoman utama bila tidak disertai fakta evidence base medicine. Hal yang lebih buruk lagi bila hal ini terjadi maka persepsi yang salah ini akan menggiring opini masyarakat untuk menyudutkan dokter sebagai pemberi advis pengobatan. Tanpa disadari pada persepsi yang salah itu akan merusak citra dokter di Indoenesia di mata masyarakat.

Dalam kontroversi tersebut sebaiknya pihak yang berwenang dalam hal ini IDI, IDAI dan Departemen Kesehatan harus mengeluarkan rekomendasi resmi tentang masalah keamanan puyer sebagai salah satu bentuk sediaan obat. Meskipun secara informal lewat wawancara sebuah stasiun televisi ketua umum IDAI dr Badriul Hegar SpAK, telah menyatakan bahwa puyer adalah bentuk sediaan obat yang tidak berbahaya dan aman, karena sampai saat ini belum ada penelitian yang menunjukkan keburukannya.

Bila diibaratkan kontroversi itu seperti dokter sebagai penyedia puyer dan penjual sate menjual satenya.Bila kualitas satenya tidak bagus yang dikambinghitamkan jangan satenya tapi penjual satenya harus diperbaiki cara penyajiannya secara baik dan benar. Padahal bila dikemas dengan baik dan benar maka sate tersebut sangat bergizi dan masih menjadi pilihan masyarakat. Meskipun sebenarnya dokter tidak bisa disamakan dengan tukang sate.

http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=13076


Negara yang Memihak Kaum Kapitalis Penindas

Negara yang Memihak Kaum Kapitalis Penindas


Keberpihakan kepada kapitalisme dan imperialisme masih menjadi pilihan penguasa Indonesia dalam menata ekonomi negara ini. Hal tersebut semakin diperkuat dengan kecenderungan politik yang memperlihatkan ketidakberdayaan negara, yang akhirnya membawa Indonesia ke jurang neo imperialisme.

Selain itu, kebijakan-kebijakan yang terintervensi, membuat negara tak lebih tak kurang, hanya berperan sebagai mandor dari kekuatan kapitalisme tersebut. Seperti adanya UU tentang penanaman modal (PM) yang berpihak pada kepentingan pemiliki modal adalah salah satu buktinya. Sebelum itu, kita telah dicekoki pula dengan kebijakan-kebijakan lain yang menggadaikan SDA negeri ini.

Kebijakan-kebijakan yang benar-benar membawa Indonesia ke dalam gerbang kapitalisme itu tidak lahir dengan sendirinya, tapi lahir dari intervensi kekuatan modal para kapitalis tersebut, termasuk melalui jeratan hutang luar negeri dan penanaman modal yang tidak terkendali. Sehingga di atas kekuasaan negara, dibayangi dengan kekuasaan yang lebih tinggi, yakni kekuasaan para pemilik modal.

Akibatnya, dapat terlihat, bagaimana kekuatan tersebut mengacak-acak sendi-sendi ekonomi rakyat, dimarginalkannya hak-hak politik rakyat, ditindasnya hak-hak sosial-ekonomi, dijajahnya secara sosial-budaya dan sebagainya. Sehingga, konsekuensinya adalah yang kaya semakin makmur, yang miskin semakin lebur. Kesejahteraan hanya milik rezim kapitalis tersebut.
Bagi rakyat, kemiskinan, pendidikan mahal, kesehatan tidak terjamin, penggusuran paksa, dan segala macam bentuk penindasan lainnya.

Indonesia memang telah lama merdeka, namun kondisi rakyat masih terjerembab di lubang kemiskinan dan praktek penindasan. Kemandirian sebagai bangsa tidak dirasakan, yang ada adalah ketergantungan, karena akar kapitalisme di Indonesia semakin menancap kuat. Dengan pola seperti itu, rakyat jelas hanya diperlakukan seperti sapi perahan bagi kepentingan, kesejahteraan dan kekuasaan serakah kaum kapitalis.

Pernah kita tentang pemberdayaan ekonomi berbasis kerakyatan, namun apakah itu pernah menjadi suatu kebijakan konkret pemerintah? Ternyata tidak. Karena apa? Karena pola pikir kapitalistik telah begitu kuat menancap dan tidak adanya keberanian untuk melepaskan diri dari posisi sebagai kacung kaum imperialis.

Sekarang, mana tanah negeri ini yang sudah terbebas dari virus kapitalisme tersebut? Semuanya seperti etalase barang dagangan yang siap diperjualbelikan. Dengan modal yang punya kuasa, rakyat negeri hanya bisa menjadi kuli.

Kekuatan modal telah meruntuhkan kedaulatan negeri ini secara politik. Kekuatan modal mampu mengintervensi kebijakan-kebijakan politik pemerintah negeri ini sehingga perubahan peta konstelasi politik nasional adalah hasil dari intervensi modal, dimana kekuatan politik yang mengakomodir kepentingan modal internasional-lah yang memenangkan pertarungan politik.

Negeri ini memang tidak punya kedaulatan, malah kekayaan sumber daya yang ada tidak mampu menjadikan negeri ini berdikari. Sehingga kekayaan tersebut dinikmati oleh kaum kapitalis saja. Tak heran, dengan buaian modal dan keuntungan yang bisa masuk ke kantong pribadi, para penguasa negeri ini rela mengkhianati rakyatnya dengan menjual aset-aset nasional kepada pemilik modal asing.

Sekarang dapat kita lihat aksi-aksi nyata para pemodal kapitalis itu, menghisap keuntungan di negeri kaya raya ini. Lihatlah bagaimana mereka mereguk keuntungan dari hasil bumi kita, lihatlah mereka mereguk keuntungan dan miliaran dollar dari Blok Cepu, perpanjangan kontrak Freeport, dan sebagainya. Sedangkan apa yang didapat rakyat, hanya dapat sampah!

Ditambah lagi masalah-masalah yang muncul akibat berlangsungnya ekspansi modal, rakyat digusur secara paksa dari tanahnya sendiri, tanah yang telah didiami sejak dari zaman nenek moyangnya secara turun temurun.

Siapa yang sejahtera? Yang sejahtera adalah pemodal kapitalis, kemudian penguasa zalim dan antek-anteknya! Bukan rakyat! Jika hal ini terus terjadi, kepada siapa lagi rakyat akan percaya? Kepada negarakah? Apakah kita harus percaya kepada negara yang berselingkuh dengan kaum kapitalis untuk menindas rakyatnya sendiri!?

Inilah praktek penjajahan gaya baru tersebut. Praktek nyata dari penindasan yang harus dilawan!

http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?ID=9711

21 Februari 2009

bacalah

LUKAKU

KELUKAAN HARI INI
MENJADI ADA KARENA
TIADANYA
KEBURUKAN HARI INI
MENJADI ADA KARENA
HANYA RASA
CARUT MARUT
MENJADI KARAT DALAM BENAK
MENGHITAM KALAHKAN JELAGA
KUTUKKU UNTUK PENDUSTA
JADIKAN HARIKU LUKA
Paledang, 27 Agustus 2008
14.00 Ruang BIMPAS