22 Februari 2009

Utang, Nasionalisme Kesiangan dan Kemerdekaan Sejati?

Munculnya krisis dalam hubungan antara Indonesia dan Australia ditanggapi berbeda oleh berbagai kalangan. Namun yang langsung menarik perhatian saya adalah tulisan Bapak Ikrar Nusa Bakti “Nasionalisme Kesiangan” disalah satu harian nasional (Kompas, 31 Maret 2006). Dalam tulisannya, beliau mengatakan bahwa bangsa Indonesia haruslah bercermin diri dan bahwa nasionalisme bukanlah jago-jagoan menunjukkan siapa yang dapat bersuara lantang kepada negara asing, bukan pula jagoan demonstrasi di depan kedutaan-kedutaan AS, Malaysia, Swedia atau Australia. Tetapi, sudahkah kita merasa senasib sepenanggungan dengan saudara-saudara kita di Papua? Nasionalisme kita seharusnya menunjukkan perhatian kepada nasib seluruh anak bangsa di negeri ini.

Saya sangat mendukung hal yang disebut belakangan namun hal tersebut menurut awam saya sangat berhubungan dengan hal yang pertama yaitu “bersuara lantang kepada asing”. Harus kita ingat bahwa jika secara internal satu negara cukup kuat maka negara tersebut tidak akan gampang diguncang oleh kekuatan dari luar. Pertanyaan, mengapa kita tidak bisa bersuara lantang kepada asing? Ini sebenarnya ditujukan kepada pemerintah.

Beberapa elemen masyarakat yang terorganisir maupun secara individu berkali-kali menyuarakan secara lantang penentangan terhadap kekuatan asing yang ingin mengekploitasi semua sumber daya dalam negeri namun mendapatkan tanggapan yang tidak sepantasnya dari pemerintah. Suara-suara lantang ini juga masih menjadi kekuatan minoritas dalam lembaga legislatif. Penyuaraan “suara lantang” ini harus secara terus menerus digalang oleh semua elemen masyarakat meskipun itu harus dilakukan di jalan-jalan ataupun di depan kedutaan besar negara “sahabat”. Cara bepikirnya seharusnya adalah dengan adanya penyuaraan penentangan dari masyarakat saja pemerintah masih “mau berbuat salah”, apalagi jika tidak ada sama sekali. Untuk hal ini, saya sangat setuju dengan Alm. Cak Nur dalam pidatonya “Kebebasan Demi Peradaban” (2003), beliau mengatakan “masyarakat demokratis cenderung ribut, tapi keributan dinilai pasti lebih baik daripada ketenangan karena kemandekan.”

Dalam krisis hubungan dengan Australia, kita harus sepakat dan memberikan dukungan penuh kepada pemerintah karena telah bersuara lantang kepada pemerintah Australia. Namun sayangnya dalam beberapa hal, yang justru lebih penting, ketika suara lantang pemerintah sangat diharapkan malah tidak terdengar sama sekali. Yang ada justru pembelaan kepentingan asing. Ambillah Blok Cepu yang sekarang telah dikuasai oleh Exxonmobil.

Pemerintah memberikan pernyataan bahwa keputusan di Blok Cepu adalah B to B atau business to business agreement. Disini terlihat ketidak-konsistenan pemerintah. Jika keputusan tersebut adalah B to B, yaitu antara Pertamina dan pihak Exxonmobil, maka seharusnya Pertamina tidak mendapatkan intervensi yang lebih jauh dari pemerintah. Namun kenyataannya adalah direktur Pertamina sebelumnya yang tidak setuju terhadap penyerahan operasional Blok Cepu ketangan Exxonmobil, justru diganti oleh pemerintah dengan direktur baru beberapa saat sebelum terealisasinya kesepakatan yang ada sekarang.

Kembali lagi, beberapa kalangan melihat krisis hubungan bilateral Indonesia-Australia sekarang ini dari kacamata dependency (baca=keterjajahan) negara kita kepada beberapa aktor utama dalam panggung internasional. Saya mengaitkan antara dependensi dengan keterjajahan karena kondisi aktual Indonesia sekarang menurut saya masih berada dalam keterjajahan dan jauh dari kemerdekaan sejati seperti yang diinginkan oleh founding fathers kita. Ini sangat bisa menjelaskan prilaku pemerintah dalam mengambil kebijakan dalam negeri mengingat bagaimana keterkaitan langsung kondisi domestik dengan apa yang terjadi diluar negeri dibuktikan dengan beberapa kebijakan yang diambil pemerintah dengan mempertimbangkan faktor eksternal, misalnya kebijakan pencabutan subsidi BBM karena kenaikan harga minyak dunia. Untuk itu masih sangat relevan bagi kita untuk kembali mempertanyakan “apakah kita sudah merdeka atau belum? Atau mungkin, pernahkah kita merdeka?”

Kemerdekaan Sejati

Pada dasarnya pemahaman kita terhadap negara tercinta ini sangat tergantung pada proses sosialisasi sejarah dari generasi ke generasi. Tidak bisa kita pungkiri bahwa kebanyakan dari kita berpikir bahwa kita telah merdeka dibuktikan dengan berhasilnya presiden Soekarno dan wakilnya Hatta memproklamirkan kemerdekaan negara Indonesia dari penjajahan Belanda. Kita taken for granted bahwa kemerdekaan telah kita capai dan tidak akan pernah lagi terambil oleh siapapun juga serta perjuangan atas nama kemerdekaan sudah tidak ada lagi. Proklamasi kemerdekaan hanya akan terjadi satu kali dan tidak akan pernah terulang lagi, karena itu kita sejatinya kita telah merdeka.

Argumentasi diatas tidak bisa kita terima begitu saja. Pertama, argumentasi diatas sebenarnya masih bisa dikejar lagi dengan pertanyaan apakah memproklamirkan kemerdekaan adalah esensi dari kemerdekaan itu sendiri? Jawabannya, belum tentu. Memproklamirkan adalah satu hal. Yaitu formal dan politis yang berbeda dengan substansi kemerdekaan itu sendiri. “Saya adalah kepala sekolah”, disini saya memproklamirkan diri, tapi apakah betul saya sejatinya adalah seorang kepala sekolah? Anda akan ragu untuk menjawab “ya.” Kedua, saya melihat bahwa merdeka adalah suatu proses untuk ‘menjadi’. Proses yang akan berlangsung secara terus menerus. Sekarang ini pun kita masih dalam proses tersebut.

Kasus Blok Cepu dan Freeport di Indonesia memiliki beberapa kesamaan dengan pola penjajahan yang dilakukan oleh Belanda dulu. Pertama, Penjajahan Belanda, dan beberapa negara Eropa lain di negara-negara Asia dan Afrika, adalah upaya negara tersebut untuk menguasai sumberdaya alam (resources) yang ada di Indonesia. Kedua, keinginan untuk mendapatkan pekerja atau buruh yang murah sebagai syarat mendapatkan produk yang bersaing dari segi harga. Ketiga, adalah setelah mengeksploitasi kemudian menjadikan negara terjajah tersebut sebagai pasar. Jaman penjajahan Belanda dulu semua ini dimotori oleh satu Multi National Corporation (MNC) yang dikenal dengan VOC. Untuk konteks sekarang ini dilihat dari tiga hal disebutkan diatas, VOC telah berganti nama dengan Freeport dan Exxonmobil. Kemerdekaan sejati memang belum terwujud. Bahkan beberapa akademisi mempertanyakan kemerdekaan Indonesia dimasa-masa awal “kemerdekaan.”

Kita tahu bahwa proklamasi kemerdekaan dilakukan pada 17 Agustus 1945, tetapi Belanda pada waktu itu tidak menerima begitu saja yang kemudian terjadi Agresi I dan Agresi II. Indonesia baru mendapatkan pengakuan kedaulatan pada tahun 1949. Salah satu butir kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah “utang yang dibuat oleh pemerintah Belanda selama penjajahan, sebanyak 4 Miliar, diwariskan kepada pemerintah Indonesia”. Disini kita bisa mempertanyakan kemerdekaan kita karena kita sudah terikat utang dari dulu.
Pada tahun 1947 sebenarnya Pemerintah RI pada waktu telah mengajukan Blue Book yang berisi permintaan utang kepada negara maju. Pada tahun 1950 Indonesia diintervensi oleh Amerika Serikat (AS). Indonesia meminta utang sebesar 150 USD, namun uang ini bisa dicairkan dengan syarat pemerintah Indonesia harus mengakui pemerintahan di Vietnam Selatan, yang pada waktu perang Vietnam didukung oleh AS. Karena keinginan agar utang tersebut segera dicairkan maka Indonesia memenuhi syarat AS tersebut. Hal yang sama terulang lagi 2 tahun kemudian, 1952. AS lagi-lagi meminta Indonesia untuk mengembargo Cina dengan tidak mengekspor tekstil ke Cina dan juga mengakui pemerintah Korea Selatan yang didukung oleh AS pada perang Korea dan keputusan Indonesia yang berharap utang dicairkan sudah dapat kita tebak kemana pada saat itu (Baswir, 2006)

Utang dan Kolonialisme

Dari sedikit penggalan sejarah diatas dapat kita kenali bahwa utang adalah salah satu strategi bagi negara maju untuk melakukan kolonialisme model baru atau neo-kolonialisme. Disebut neo karena terdapat perbedaan gaya atau model dari penjajahan dulu. Jika dulu kita terjajah dengan keterlibatan militer secara aktif maka neo-kolonialisme adalah model penjajahan minus militer (Amien Rais, 2006).

Sejarah tentang utang yang paling dekat dengan kita sekarang ini adalah apa yang diceritakan oleh John Perkins dalam bukunya “the Confession of an Economic Hit Man” (2005). Perkins mengakui bahwa memang ada, bahkan sampai sekarang ini, orang-orang yang disebut sebagai economic hit man itu yang dikirim ke negara-negara berkembang untuk memberikan suatu rekomendasi kebijakan ekonomi yang didasarkan pada kalkulasi salah dan menyesatkan. Tujuannya adalah untuk menghancurkan perekonomian negara tersebut dan pada akhirnya tidak ada pilihan bagi negara tersebut untuk bangkit selain dengan berutang kepada negara maju.
Yang sangat menyita perhatian saya adalah bahwa Perkins juga pernah dikirim ke Indonesia dan beroperasi di Pulau Jawa. Entah berhubungan atau tidak, yang jelas Indonesia sekarang ini telah terjerat dengan utang.

Ketergantungan kita terhadap utang sangat jelas terlihat dalam APBN. Dalam RAPBN 2005 saja, jumlah utang mengambil porsi terbesar yaitu 25% jika dibandingkan dengan besaran jumlah belanja lain seperti belanja sosial 4%, subsidi 8%, belanja modal dan pegawai masing-masing 10% dan 14% (Nota Keuangan Diolah). Kondisi yang parah ini berujung pada ketergantungan akut kita terhadap utang dimana jumlah utang yang akan kita terima lebih kecil dibanding utang yang jatuh tempo atau harus segera dibayar. Kondisi ini tidak bisa tidak harus segera diubah karena akan semakin menjerumuskan kondisi kesejahteraan rakyat mengingat bahwa anggaran subsidi antara lain untuk pendidikan dan kesehatan dipotong demi untuk membayar utang tersebut.

Posisi ketergantungan ekonomi inilah yang dijadikan oleh negara-negara maju untuk mengintervensi Indonesia dalam pengambilan kebijakan luar negeri dan disisi lain menurunkan bargaining power Indonesia berhadapan dengan kekuatan asing. Kebijakan pemerintah Australia, yang dalam politik internasional cukup kuat dikarenakan oleh beberapa kedekatan dengan Inggris dan AS, dengan memberikan suaka disandarkan pada argumentasi-argumentasi yang sebenarnya tidak terlalu kuat (Hikmahanto, 2006). Hal ini hanya memperjelas bahwa Indonesia dimata Australia tidak lebih dari sekedar barang mainan yang dapat diperlakukan seenaknya saja, negara yang kata orang merdeka.

Agar Tidak Kesiangan?

Permasalahan sekarang ini sebenarnya telah diramalkan akan terjadi oleh founding fathers kita. Hatta telah mengingatkan kita akan bahaya superpower greeds dan harus terus waspada terhadapnya. Untuk itu tidak ada salahnya jika kita mencoba melihat kembali pemikiran-pemikiran yang telah ada dimasa awal “berdirinya” Indonesia. Seokarno telah memberikan rekomendasi strategi kepada kita agar bisa merdeka dan tidak lagi menjadi negara terjajah oleh kekuatan asing. Rekomendasi tersebut adalah pertama, agar kita berhenti menjadi suplier bahan mentah bagi negara-negara industri, kedua, berhenti menjadi pasar bagi negara industri dan ketiga, berhenti menjadi tempat memutar kapital asing.

Ketiga hal ini dapat kita jadikan sebagai salah satu alternatif pemikiran dasar bagi pemerintah dalam menetapkan suatu strategi dan kebijakan luar negeri dan harus mendapatkan dukungan dari masyarakat. Disini kritisisme masyarakat juga harus terus dijaga. Kita bisa meminjam tradisi pemikiran kritis masyarakat barat terhadap pemerintahnya dengan mengatakan bahwa “who is powerful, is a suspect” dan ini sah-sah saja bagi pemerintahnya. Sebagai salah satu prasyarat bagi akselerasi perubahan, gerakan sosial yang dilakukan oleh elemen masyarakat baik itu LSM maupun mahasiswa harus menjadikan masalah utang ini sebagai common issue.

Hal lainnya adalah, berubahnya mindset dari para kebanyakan politikus dengan menggeser kecenderungan politik demi kekuasaan semata kearah politik kesejahteraan masyarakat. Dengan begini, Dewan Perwakilan Rakyat tidak lagi menjadi “Dewan Perwakilan Pemerintah” dimana setiap keputusan politik DPR lebih banyak berposisi mendukung kebijakan pemerintah yang sebenarnya tidak aspiratif dan bahkan menentang keinginan rakyat. Pada akhirnya semua ini akan memudahkan para pembantu Presiden di luar negeri untuk memiliki kepercayaan diri dan posisi tawar yang cukup baik dalam melakukan diplomasi/negosiasi berhadapan dengan negara maju sekalipun. Semoga.

Muh. Ashry Sallatu
Mahasiswa Program Pasca Sarjana
Hubungan Internasional, Universitas Indonesia
(Jumat, 31 Maret 2006)
http://kakatuadua.blogspot.com/2006/10/utang-nasionalisme-kesiangan-dan.html

0 komentar:

Posting Komentar

Tu comentario será moderado la primera vez que lo hagas al igual que si incluyes enlaces. A partir de ahi no ser necesario si usas los mismos datos y mantienes la cordura. No se publicarán insultos, difamaciones o faltas de respeto hacia los lectores y comentaristas de este blog.